Cerpen - Nur

Hai selamat siang menjelan sore semua 😘 Cerpen yang ini jadi disatuin nih, jadi sekali tamat. Tapi inget ini karya kakak saya yah soalnya saya tak pandai merangkai kata sih jadi ah sudahlah :' v
Tau kok ini cuma cerpen abal-abal yang ditulis beberapa tahun lalu, ga ada serunya sama sekali 😂 tapi lumayanlah buat ngisi blog saya ini 😄 Ga suka ? Ga usah baca okee 😉

Judul Cerpen : Nur
Karya : El Rahma

Sudah dua hari ini aku kesana-kemari untuk mencari lowongan pekerjaan, namun tak ada yang mau menerimaku yang hanya lulusan Madrasah Aliyah. Ingin rasanya aku mengeluh dan pergi saja dari dunia ini, namun aku selalu teringat wajah ibu. Ibu masih membutuhkanku.

Siang ini aku sudah mengunjungi lima tempat yang membuka lowongan pekerjaan, namun lagi-lagi pendidikan terakhir menjadi kendala.

Adzan dzuhur berkumandang dari mesjid yang tak jauh dari tempatku berteduh, aku segera beranjak untuk mengikuti shalat berjamaah.

''Ya Allah, aku mohon berikanlah aku kesabaran dalam menghadapi ujian dari Mu. Aku tau, Engkau memberikan cobaan pada stiap hambanya sesuai dg kemampuannya. Ya Allah, mudahkan hamba dalam mencari rezki halal-Mu, hamba hanya ingin membahagiakan ibu.'' lirihku dalam do'a, kubiarkan airmata ini mengalir membasahi kedua pipiku, agar hati ini bisa sedikit lega dan damai.

Seperti biasa, saat aku tiba di rumah, rumah terlihat sepi dan sunyi, dulu rumah ini begitu ramai dan nyaman, saat ibu sehat dan ayah masih hidup. Baru saja aku membukakan pintu, tiba-tiba seseorang memanggilku.

''Nur!!'' panggil seseorang. Aku membalikan tubuhku, ternyata Rena, teman baikku. Ia menghampiriku lalu tersenyum. ''Kabarmu baik kan ?'' tanyanya.

''Alhamdullilah. Kamu sendiri ? Ada perlu apa Ren ?'' ucapku.

''Syukurlah, aku juga baik. Kamu lagi nyari kerjaan ya ? Kebetulan aku punya temen yang lagi butuh tenaga kerja di rumahnya. Kamu mau ?''

''Alhamdullilah, aku mau Ren bahkan hari ini juga aku siap kerja.''
''Tapi Nur, kerjanya beresin rumah gitu, mmm..pembantu tepatnya. Duh, maaf banget ya Nur, aku nawarin pekerjaan yang ga layak buat kamu. Aku ga bermaksud buat nyinggung perasaan kamu, kalo kamu ga mau juga ga apa-apa, aku cuma ngasih tau doang.'' jelas Rena, ia tampak merasa bersalah.
Aku menepuk pundak Rena dan tersenyum.
''Rena, apapun pekerjaannya aku terima asal itu halal di mata Allah. Lagipula jadi pembantu itu bukan pekerjaan yang hina kok.''
''Ya tapi aku ga enak aja sama kamu. Syukurlah kalo kamu mau. Nanti aku bilangin deh sama temenku terus aku kabarin lagi sama kamu. Ya udah ya aku pamit. Assalamualaikum.''
''Waalaikumsalam. Makasih ya Ren.'' ucapku.
Allah mengijabah do'aku lewat Rena, aku tersenyum bahagia, aku tak sabar ingin segera bekerja dan mendapat upah setelah itu aku ingin sekali mengobati ibu.
''Terimakasih Ya Allah.'' batinku.
***
Rupanya ibu sedang tertidur pulas, syukurlah karena beberapa hari ke belakang tampaknya ibu kurang tidur. Aku membukakan penutup saji di meja makan, hanya ada sepiring nasi dan satu potong tempe disana. Aku menghela nafas, rupanya ibu malah menyimpan makannya kembali, padahal tadi pagi aku sudah menyuruh ibu untuk makan. Kudengar ibu terbatuk-batuk, aku segera mengambil segelas air hangat dan memberikannya. Setelah lega, aku mengusap pundak ibu.
''Bu, ibu kenapa ga makan ?'' tanyaku.
''Nur, ibu ga apa-apa kok engga makan juga, ibu masih kuat asalkan kamu harus makan. Ibu tau kamu dari pagi belum makan kan ?''
''Ibu, ibu lagi sakit, makan itu penting biar ibu cepet sembuh. Lagian Nur lagi puasa, Bu. Nanti buat buka puasa, Nur bisa beli makan di warung depan. Sekaramg ibu makan ya, biar Nur yang suapin ibu.'' ucapku dengan mata berkaca-kaca.
''Ibu bersyukur punya anak sesolehah kamu, Nur. Rajin solat, puasa, ngaji dan berbakti pada orgtua. Mksh ya, nak.''
Aku hanya tersenyum seraya memberikan suapan pertama pada ibu, aku tak mampu berkata apapun tenggorokanku tercekat menahan tangis. Ibu semakin tua dan aku belum bisa membalas jasa-jasanya belum lagi mewujudkan impiannya agar aku bisa menikah.
''Maafkan aku Ya Allah. Maafkan Nur, ibu.'' batinku.
***
Pagi ini aku bersiap-siap menuju tperumahan Jati Indah, hanya bermodalkan alamat yang diberikan Rena aku melangkah pergi. Semoga pekerjaanku tidak sia-sia.
Sebuah rumah mewah dan megah berdiri di hadapanku, aku memencet tombol bel di gerbang. Seorang satpam membukakan gerbang itu dan tersenyum.
''Pegawai baru ya ? Silahkan masuk! Mari saya antar ke Den Denis, dia sedang ada di belakang.'' ucapnya ramah.
Aku berjalan mengikuti satpam itu menuju belakang rumah. Setiba disana aku takjub, karena halaman belakang rumahnya ternyata sangat luas, sebuah kolam renang dan taman kecil mendominasinya.
''Non, tunggu disini ya. Saya mau nyamperin Den Denis dulu.''  ucap satpam itu.
Aku hanya mengangguk lalu duduk di sebuah bangku. Tak berapa lama seorang pria sebaya denganku menghampiriku, sontak aku langsung menutupi mataku dengan tanganku.
''Astagfirulloh'' lirihku. Bagaimana tidak, pria itu menghampiri seorang wanita dengan telanjang dada.
''Buka aja matanya, saya udh pke baju.'' ucapnya.
Aku membuka mataku perlahan-lahan dan bernafas lega karena pria itu sudah memakai bajunya.
''Kamu pegawai baru itu ya ? Temennya Rena ?'' tanyanya.
''Iya. Nama saya Nur Syamsiah.'' ucapku.
''Oke. Saya Denis Adiwijaya. Kerjaan kamu disini adalah cuma beres-beres rumah. Penghuni rumah ini cuma ada saya, Rizky adik saya, Pa Rahmat satpam yang nganterin kamu kesini, Bi Sarti juru masak dan sekarang kamu. Sekarang kamu boleh kerja.'' jelasnya panjang lebar.
''Iya, makasih ya Tuan Denis.'' ucapku seraya tersenyum bahagia.
''Panggil saya Kak Denis aja. HKayaknya umur kamu ga jauh beda dari saya kok. Oh ya, kalo kamu mau tanya-tanya soal ruangan disini, tanya aja sama Bi Sarti. Saya udah nyiapin dua tempat tidur dalam satu kamar, tepatnya satu kamar dengan Bi Sarti. Kamu tenang aja ya, disini semuanya baik-baik kok, saya juga udah ngasih tau tentang kedatangan kamu sama mereka.'' jelasnya lagi. Aku hanya mengangguk. Tampaknya dia majikan yang ramah. Aku sangat bersyukur.
**************************
Sudah tiga bulan aku bekerja di rumah Denis. Selama itupula aku jarang pulang ke rumah, karena aku tak enak meminta izin pada Denis. Semua pekerja disini pun tak ada yang pulang ke rumahnya, contohnya Pa Rahmat, padahal rumah dia tak jauh dari rumah Denis. Menurut Bi Sarti, orangtua Denis meminta semua orang yang bekerja disini tak boleh pulang karena mereka takut terjadi sesuatu dengan anak semata wayangnya. Maklum, kedua orangtua Denis sibuk bekerja di luar negeri. Sebenarnya Denis tak melarang kami untuk pulang, dia bahkan membolehkan kami yang dekat pulang setiap sore hari. Hanya saja kami mematuhi aturan orangtuanya.
Aku pun jadi banyak tahu tentang Denis, dia mahasiswa S2 di fakultas kedokteran dan sebentar lagi akan diangkat menjadi dokter, sedangkan adiknya, Rizky, baru menginjak bangku perkuliahan setahun yang lalu di fakultas ekonomi. Rizky, dia seorang pria yang nakal, ceroboh, malas dan sombong. Bahkan dia pun sering membolos kuliah dan kerap membuat Kak Denis kewalahan menghadapinya. Sifat Kak Denis sangat berbeda jauh dengan Rizky, Kak Denis seorang pria yang pintar, cerdas, ramah, baik hati, shalih, rajin dan sopan, bahkan yang membuatku takjub adalah rumah ini adalah rumah milik Kak Denis sendiri. Aku sangat salut dan ingin sekali bisa seperti Denis, pastilah kedua orangtuanya sangat bangga padanya. Aku juga sangat bersyukur bisa bekerja dan mengenal Denis, karena aku serasa memiliki seorang abang.
''Nur, ini gajih kamu buat bulan ini. Kamu kerjanya makin rapi dan ulet banget ya. Makasih ya, karena berkat kamu rumah kakak jadi bersih dan nyaman.'' ucapnya seraya memberikan amplop coklat.
''Alhamdullilah. Justru saya yang harus bilang makasih sama Kak Denis, karena kakak adalah malaikat penolong saya di bumi.''
''Ga usah berlebihan gitu. Oh ya kamu udah sarapan ? Sarapan dulu yuk, di ruang makan udah ada Pak Rahmat sama Bi Sarti. Oh ya tolong kamu ajak Rizky ya.''
Aku mengangguk kemudian pamit dari hadapan Denis.
Rizky rupanya sedang asyik merokok di taman belakang. Aku kaget, padahal sudah berulang kali aku memperingatkan dia agar tak merokok di rumah Kak Denis, karena aku tahu Denis tak menyukai asap rokok. Dia bahkan menyuruhku memasang papan peringatan di sekitar rumahnya, bahwa siapapun yang bertamu kerumah ini jangan merokok.
''Ky, kamu kok ngerokok lagi ? Buang rokoknya nanti Kak Denis marah, dia kan ga suka asap rokok.'' ucapku.
Rizky menoleh dan menatapku dengan tajam.
''Heh ini kan rumah abang gue, jadi terserah dong mau gue ngerokok ataupun engga itu bukan urusan lo! Lo cuma pembantu disini, jadi jangan ikut campur sama hidup gue.'' ucapnya sinis.
''Iya aku tau, aku cuma ngingetin aja. Aku dateng kesini cuma mau ngajak kamu sarapan, Kak Denis yang nyuruh.''
Aku beranjak pergi dari sisi Rizky, namun tiba-tiba dia menahan lenganku. Refleks aku melepaskannya dengan kasar.
''Jangan munafik deh lo Nur! Baru gue pegang gini aja udah so jual mahal. Inget dong, lo cuma pembantu harga lo tuh murah!!''
''Ky, meskipun aku cuma pembantu, tapi aku ga mau ngerusak harga diri aku dihadapan Allah. Meskipun kamu cuma megang tangan aku, tapi itu udah jadi dosa, karena kita bukan muhrim.''
''Halah so suci lo!! Palingan kalo di bayar juga lo luluh. Nih gue bayar karena tadi gue udah pegang tangan lo,'' Rizky memberikan lima lembar uang ratusan ribu padaku, ''Ga usah pengen mahal, harga pembantu murah!'' ucapnya santai seraya berlalu dari hadapanku.
Rasanya aku tak kuat menahan airmataku, ingin segera kutumpahkan hanya saja aku takut Kak Denis melihatku. Aku berlari menuju kamar hampir saja aku menabrak Kak Denis, dia menatapku dengan tatapan iba.
''Nur, kamu kenapa ?'' tanya Denis.
''Engga kok Kak, aku ke belakang dulu ya.'' ucapku buru-buru meninggalkannya.
Di kamar belakang aku menangis tersedu-sedu. Aku tak mengerti mengapa Rizky begitu sangat membenciku. Apa salahku padanya ? Haruskah aku mengundurkan diri ?
****
''Assalamualaikum..'' sapaku seraya mengetuk pintu rumah. Aku memutuskan cuti beberapa hari, aku ingin menenangkan hati dan fokus merawat ibu, karena semenjak aku bekerja di rumah Denis, waktuku bersama ibu tak banyak. Hanya seminggu dua kali aku bisa bertemu dengan ibu.
''Waalaikumsalam.. Eh kamu Nur ? Kenapa pulang siang gini ? Kamu ga kerja ?'' tanya ibu.
''Nur izin cuti bu, mau ngerawat ibu. Alhamdullilah Kak Denis ngizinin.'' jawabku.
''Ya udah masuk dulu yuk kebetulan ibu baru aja selesai masak, ada tumis tahu kecap kesukaan kamu.'' ucap ibu. Ibu tampak sangat sehat dari hari sebelumnya.
Aku mengangguk pelan dan tersenyum seraya memasuki pintu rumah.
*******
Seminggu berlalu aku masih belum kembali bekerja di rumah Denis. Sebenarnya kemarin lusa aku harus sudah masuk, hanya saja aku masih sakit hati dengan ucapan Rizky tempo hari yang lalu. Ibu pun bertanya-tanya perihal aku belum juga mau kembali bekerja, namun aku hanya menanggapinya dengan alasan masih ingin merawat ibu.
''Nur, sekarang ibu kan udah sehat. Kamu ga boleh ngecewain Nak Denis, kamu harus tanggungjawab Nur.'' nasehat ibu saat aku sedang menyapu lantai depan rumah.
Aku tak langsung menanggapi ucapan ibu. Kak Denis belum tahu karakter Rizky sebenarnya apalagi ibu sama sekali tak mengetahui soal Rizky. Tapi ibu benar, Denis sudah mempercayaiku sebagai pegawainya, dia sering memuji hasil pekerjaanku dan tak pernah memarahiku dan sekarang aku pasti membuatnya kecewa karena keterlambatanku masuk kerja.
Sebuah mobil biru berhenti di depan rumahku, ternyata Denis. Aku pun langsung menyambutnya dengan baik.
''Assalamualaikum..'' sapanya.
''Waalaikumsalam'' jawabku dan ibu berbarengan.
Kak Denis mencium tangan ibuku layaknya seorang anak pada ibu kandungnya. Aku diam mematung, Denis lelaki kaya raya, sekaligus majikanku tak malu bahkan tak canggung untuk bersalaman dengan ibu dari pegawainya.
''Aduh, ini Nak Denis ya ? harusnya ga usah salaman sama ibu. Tangan ibu takutnya kotor. Apalagi Nak Denis kan majikan anak ibu, Nur.''
Denis tersenyum geli sembari memegang pundak ibu, tampaknya ia terbiasa akrab dengan orang-orang seperti kami.
''Ibu, memangnya seorang majikan ga boleh salaman sama orang yang lebih tua ya ? Ibu kan orangtua, jadi saya harus menghormati ibu seperti saya menghormati ibu kandung saya sendiri. Tetap saja bu, setiap orang harus bisa menghargai orang yang lebih tua dari kita.''
''Subhanallah, ternyata yang diceritain Nur tuh ga salah ya, Nak Denis anak yang baik. Beruntung Nur bisa punya majikan kayak Nak Denis.'' puji ibu tampak bangga.
''Oh jadi diem-diem Nur sering cerita tentang saya ya bu ?'' tanya Kak Denis seraya melirikku lalu tersenyum.
Hatiku tiba-tiba saja seperti tersetrum listrik, bahagia dan terharu itulah yang aku rasakan saat melihat senyuman Kak Denis. Mungkinkah... Aku segera menepis perasaanku ini.
''Maaf ya Kak, kalo kakak ga suka aku ceritain tentang pribadi kakak sama ibu. Aku cuma bangga aja sama sifat kakak.'' jelasku.
''Ga apa-apa kok Nur. Santai aja. Mudah-mudahan sifat saya emang bisa melekat selama-lamanya sama diri saya.'' ucapnya ramah.
''Ya udah ngobrolnya di dalem aja. Ibu mau buatin minum dulu ya.'' ujar ibu.
''Ga usah bu, saya kesini cuma mau jemput Nur. Sebenarnya saya fikir Nur sakit karena tak ada kabar apapun dari hari kemarin. Dia bilangnya cuma cuti 5 hari. Jadi saya khawatir, takut terjadi sesuatu.''
Aku tak enak hati pada Denis, ternyata kemarin-kemarin dia mengkhawatirkan keadaanku padahal disini aku baik-baik saja.
''Alhamdullilah Nur baik-baik saja Nak. Dia katanya belum siap ninggalin ibu, dia masih pengen rawat ibu. Padahal ibu juga udah sehat, tapi Nur-nya masih kangen sama ibunya.'' jelas ibu seraya tersenyum.
''Oh kalo gitu kamu boleh ambil cuti lagi kok Nur. Saya tau gimana rasa khawatir dan rasa rindu kamu sama ibu. Nanti kalo udah siap kerja lagi kamu dateng aja ke rumah.''
''Ngg..ngga Kak. Udah kok tadi juga aku udah niat kerja lagi dirumah kakak, tapi aku mau beres-beres rumah dulu dan sekarang udah beres kok.'' cegahku, aku tak enak, aku sudah membuat Kak Denis khawatir dan sekarang dengan baik hati Denis menawariku untuk mengambil cuti kerja lagi. Meskipun aku tak tega meninggalkan ibu, namun tak apalah ini pun demi ibu.
''Lho ga apa-apa kok Nur. Saya serius. Saya ngerti perasaan kamu.'' jelas Denis.
''Engga Kak. Aku udah siap kerja lagi. Ibu juga udah nyuruh dari kemarin-kemarin, cuma akunya aja yang ngeyel. Maaf ya.''
''Yaudah kamu ganti baju gih, kasian Nak Denis.'' ujar ibu.
*******
Setiba di rumah Kak Denis, aku menemui Bi Sarti di dapur, dia sedang sibuk memasak untuk makan siang.
''Assalamualaikum. Bi Sarti gimana kabarnya ?'' tanyaku.
''Waalaikumsalam, eh kamu udah pulang Nur. Syukurlah, kabar bibi baik-baik, kamu ?''
''Alhamdullilah. Oh ya gimana nih seminggu ga ada aku pasti bibi kesepian yaaa ??'' godaku seraya tersenyum.
''Iya Nur, jujur aja bibi emang kesepian ga ada kamu. Kamu kan udah bibi anggap sebagai anak bibi sendiri, jadinya pas ga ada kamu rasanya gimana gitu. Belum lagi rumah rasanya jadi ga bersih dan ga rapi gitu kalo ga ada kamu.''
''Jadi selama ga ada aku ini rumah ga ada yang bersihin ya bi ?'' tanyaku.
''Ya bibi yang bersihin, cuma kan bibi udah tua jadi hasilnya kurang memuaskan. Ga kayak kamu, rumah tiap hari kinclong dan rapi.''
''Ah bibi lebay! Tapi meskipun rumah ini ga di bersihin tetep aja kok keliatan bersih, kan penghuni dirumah ini juga cuma dikit. Ga banyak orang yang lalu lalang.''
''Tetep aja Nur, bersih itu kan sebagian dari iman. Belum lagi sewaktu ga ada kamu Den Denis sempet sakit karena dihajar sama Den Rizky.''
''Astagfirulloh, emang kenapa Bi ?''
''Den Denis ngasih nasehat sama Den Rizky supaya dia ngerubah sifatnya. Tapi Den Rizky ga nerima, mereka pun akhirnya cekcok dan Den Rizky mukul Den Denis sampe babak belur. Tiga hari Den Denis ga masuk kuliah.''
Aku menarik nafas panjang dan terus beristigfar dalam hati.
******
Keesokan harinya, saat aku akan membersihkan halaman belakang rumah, aku melihat Kak Denis sedang membaca Al-Qur'an di gazebo dekat taman.
''Kak Denis kenapa ga kuliah ya ? Apa dia masih sakit ?'' batinku.
''Nur..!'' panggil Kak Denis saat aku hendak memulai menyapu. Aku menghampirinya.
''Kenapa Kak ?'' tanyaku.
''Duduk dulu ya. Kamu mau ga ajarin saya ngaji ?'' tanyanya.
''Ngaji kak ? Tapi kan aku lagi kerja lagipula kakak juga pasti bisa dong.''
Kak Denis menunduk lesu seraya menutup Al-Qur'an.
''Itulah Nur, saya masih belum lancar soal mengaji. Bahkan saya belum mengerti tentang hukum-hukum tajwid Al-Qur'an, bukankah lebih baik jika mengaji dengan hukum bacaan yang tepat ?''
''Kak Denis benar, tapi Kak apa sebaiknya kakak menyewa seorang ustadz saja agar kakak lebih paham ? Lagipula saya juga masih belajar kok.''
''Nur, saya percaya kamu udah mahir makanya saya ga nyewa ustadz, kamu lulusan dari pesantren kan ? Pasti bisa lah ngajarin saya ngaji meskipun sedikit.''
''Kakak tau darimana saya lulusan pesantren ?''
''Ohh soal itu kakak tau dari Rena, sebelumnya dia banyak nyeritain tentang kamu. Jadi gimana mau kan ngajarin saya ?''
Aku mengangguk setuju. Aku mulai membaca ayat demi ayat setelah itu Kak Denis mengikutinya. Sebenarnya Kak Denis sudah lancar membaca ayat Al-Qur'an hanya saja seperti yang ia katakan, ia belum bisa menerapkan hukum bacaan tajwid yang benar, panjang-pendeknya pun masih salah. Setelah beres, kami mengucapkan hamdallah dan menutup Al Qur'an. Tiba-tiba Rizky datang menghampiri kami.
''Ohh jadi gini ya kelakuan lo ? Kemarin aja lo so jual mahal pas gue pegang sekarang giliran sama abang gue lo ga berontak. Udah gue bilang lo tuh munafik!'' ucap Rizky.
''Ky, jaga ucapanmu! Maksud kamu ini apa ?'' ucap Kak Denis heran.
''Pembantu kesayangan lo itu kemarin waktu gue pegang tangannya dia marah sekarang berduaan sama lo ga ada reaksi apa-apa. Bukannya duduk berduaan sama yang bukan muhrimnya juga dilarang ya ? Apalagi disini sepi.'' jelas Rizky seraya melirikku dengan sinis.
''Itu karena abang yang nyuruh, Ky. Abang minta dia supaya ngajarin baca Al-Qur'an.''
''Tapi kan tetep aja harusnya dia nolak, ini kan tempat sepi. Konsisten lah! Dia tuh emang cewek munafik, cuma jadi pembantu aja gayanya udah selangit so jual mahal.''
Aku diam menunduk, genangan airmata di pelupuk mataku tak mampu ku tahan lagi. Aku pun berlari meninggalkan mereka berdua. Ucapan Rizky memang benar seharusnya aku menolak meskipun Kak Denis hanya memintaku mengajarkan dia mengaji, harusnya aku bisa mengajak dia ke mesjid bukan berduaan disana.
''Maafkan hamba Ya Allah, hamba memang salah.'' batinku.
*************
Keesokan harinya, aku melihat Kak Denis dan Rizky sedang bercekcok hebat di ruang tengah.
''Aduh Bi, aku takut Rizky ngapa-ngapain Kak Denis, gimana ya ?'' ucapku pada Bi Sarti.
''Bibi juga bingung Nur. Bibi takut Den Rizky mukul Den Denis lagi. Den Denis itu orangnya ga bisa ngelawan.''
Baru saja Bi Sarti selesai bicara, Rizky tiba-tiba memukul wajah Kak Denis hingga ia tersungkur ke lantai. Sontak aku langsung menghampiri Kak Denis dan menyegah Rizky agar tak mengulanginya lagi.
''Astagfirullah, Rizky kamu istigfar dong. Kak Denis abang kamu.'' ucapku gemetar. Takut dan kasian itulah yang kurasakan.
Rizky menatapku dengan tajam, lalu dia menyeretku keluar rumah dan membantingku bagaikan barang bekas. Kepalaku terbentur mengenai tembok. Pusing, sakit dan perih itulah yang kurasakan, namun untungnya aku masih bisa bertahan.
Aku memegang jilbabku yang ternyata basah oleh darah.
''Astagfirullah!! Rizky!! Abang dan ayah ga pernah ngajarin kamu menjadi lelaki sekasar ini. Kamu keterlaluan Ky.'' ujar Kak Denis tak percaya.
''Halah, lo sama pembantu ini sama aja! Bang, lo sadar dong dia itu cuma pembantu dirumah ini, dia ga berhak ikutcampur sama urusan kita. Lo terlalu manjain dia sampe akhirnya dia berani ngelunjak! Dia cuma wanita miskin dan ga ada apa-apanya, ngapain lo belain dia hah ?''
Kak Denis hendak melayangkan tangannya namun ia langsung menurunkannya kembali.
''Silahkan bang, tampar aja biar lo puas.''
''Rizky, abang kecewa sama kamu. Abang dari dulu udah ngajarin kamu supaya bisa menghargai dan menghormati oranglain meskipun dia hanya seorang pembantu, tukang kuli, satpam atau apalah, mereka tetep sama Ky, sama seperti kita. Diciptakan oleh Allah dari tanah dan akan kembali ke tanah pula. Kamu harus ingat itu Ky!'' nasihat Kak Denis.
Rizky menatap Kak Denis dan aku bergantian setelah itu pergi mengendarai mobil kesayangannya.
''Nur, sekarang kamu ikut kakak ke klinik ya.'' ucap Kak Denis tampak merasa bersalah.
Kak Denis hendak merangkulku, namun aku segera menghindar. Untunglah Kak Denis mengerti.
Setelah pulang dari klinik, Kak Denis membawaku ke taman kota.
Kami duduk di sebuah bangku panjang. Cuacanya masih cukup menyegarkan sehingga bisa sedikit mengurangi rasa pusing di kepalaku.
''Nur, maafin Rizky ya. Kakak gatau harus gimana lagi supaya Rizky sadar. Kakak sangat merasa bersalah atas apa yang telah Rizky perbuat sama kamu.'' ujar Kak Denis. Dapat kulihat kesungguhan dia berbicara, ia tak berani menatapku.
''Aku udah maafin Rizky kok Kak. Aku udah maklum. Lagian Rizky bener, ga sepantasnya aku seorang pembantu, ikut campur sama urusan kalian.''
''Ga Nur, Rizky salah. Kakak tau maksud kamu itu baik. Kamu ga ingin kami masuk dalam perangkap setan. Karena pertengkaran hanya menyebabkan mudharat dan setan bisa leluasa masuk ke dalam hati manusia dan menguasainya. Namun yang kakak sesalkan adalah kenapa Rizky tega berbuat kasar seperti tadi ?''
''Kakak yang sabar ya, aku yakin seiring dengan berjalannya waktu Rizky pasti bakal berubah. Hanya Allah-lah yang bisa membolak-balikan hati manusia, semoga Rizky mendapat hidayahnya.''
Kak Denis menatapku cukup lama dan lagi-lagi hatiku merasakan hal aneh. Ya Allah, aku tak boleh mencintai Kak Denis, aku harus sadar siapa aku.
***
Seminggu sudah aku berada di rumah, semenjak kejadian itu Kak Denis menyuruhku untuk beristirahat dirumah sembari menenangkan hatiku. Selama seminggu ini pula, ibu kembali sakit keras dan hari ini tiba-tiba ibu pingsan, aku segera membawanya pergi ke dokter.
Sesampainya disana, dokter memberiku pernyataan yang membuat jantungku seolah berhenti berdetak, ibu terkena penyakit kanker hati stadium akhir dan harus dirawat insentif. Aku tak sanggup berbicara selain menangis.
Ya Allah, bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Ibu adalah malaikatku, aku tak sanggup bila harus kehilangan dia. Aku belum bisa membuat hidupnya bahagia dan belum bisa membalas jasa-jasanya. Sehatkanlah dia Ya Allah.
Pagi harinya, seorang perawat memberiku jatah makan untuk ibu. Mudah-mudahan dengan makanan sehat dari rumah sakit ini bisa membantu penyembuhan ibu, meskipun kemungkinannya sangat kecil namun Allah Maha Berkehendak.
''Ibu, makan dulu ya. Nur yang suapin ibu.'' ucapku lembut.
''Maafin ibu ya Nur, ibu cuma bisa bikin kamu repot.''
''Ibu, dengerin Nur ya, ibu sama sekali ga pernah ngerepotin Nur, malah Nur yang ngerepotin ibu selama ini. Sekarang ibu lagi sakit jadi Nur maklum lagian Nur udah makan kok tadi diluar. Jadi ibu ga usah banyak pikiran lagi ya, yang ibu pikirkan adalah ibu harus berjuang melawan penyakit ibu biar ibu sehat lagi dan bisa liat Nur sukses.''
Nafasku sesak, hatiku sangat hancur dan tanpa sadar airmataku mengalir begitu saja. Ibu pun ikut menangis, tangan lembut ibu mengusap airmataku dengan penuh kasihsayang.
''Nak, ibu sayang sekali sama kamu. Kamu anak yang baik dan sholehah, ibadah salat dan puasa tak pernah kamu tinggalkan pastilah Allah juga menyayangimu, ibu sangat meridhoi kamu dan mendo'akanmu agar bisa menjadi orang sukses dunia dan akhirat. Ibu hanya berpesan jika kamu nanti sudah sukses, jangan pernah lupakan Allah, rajinlah bersedekah karena Allah pasti akan menggantinya berlipat ganda dan tetaplah berlaku santun pada setiap orang. Ibu meridhoimu Nur.''
Aku menggenggam erat tangan ibu lalu mengusap wajah ibu dengan lembut.
''Ibu, makasih atas do'a ibu. Insya Allah, Nur bisa menuruti pesan ibu. Semoga Allah mengangkat penyakit ibu agar ibu juga bisa merasa bahagia dan bangga melihat kesuksesan Nur.''
Ibu hanya tersenyum, senyuman indah yang selalu membuat hidupku tenang dan damai setiap kali melihatnya.
''Asyadu'alla ilaha ilallah wa asyhadu anna muhammadarasullallah...''
Kalimat syahadat terucap dengan sempurna dari mulut ibu dan saat itu juga tangan lembut ibu terlepas dari genggamanku. Tubuhku bergetar hebat dan airmata semakin deras membanjiri pipiku.
''Innalillahi wa innalillahi raji'uun.. Ya Allah ampuni dosa ibu, terimalah amal ibadahnya, dan tempatkan ibu di tempat yang paling mulia di sisiMu.''
Aku mengusap wajah ibu untuk terakhir kalinya kemudian memeluknya. Sekarang ibu telah pergi, pergi dengan tenang, Allah sudah membuang penyakit itu dari tubuh ibu meskipun pada akhirnya ibu harus pergi untuk selama-lamanya, setidaknya Allah tidak membiarkan hambanya menderita lebih lama. Allah sangat menyayangi ibu.
''Maafkan anakmu ini Bu, maafkan karena belum sempat membuat hidup ibu bahagia, maafkan karena belum bisa mewujudkan keinginan ibu untuk segera menikah. Allah menyayangi ibu. Ibu tenang disana ya. Nur sayang sama ibu.'' lirihku.
*****
Pemakaman ibu sudah selesai, ibu dimakamkan tepat disebelah kuburan ayah. Aku masih tak mau beranjak dari pusaran ibu, rasanya berat sekali meninggalkan ibu disini. Aku tak percaya ibu akan pergi secepat ini, meninggalkanku sendirian di dunia ini, jika boleh aku ingin sekali meminta ibu kembali namun aku segera sadar bahwa ibu lebih bahagia disana, mungkin saja ibu sudah bertemu dengan ayah. Ibu memang sudah pergi meninggalkanku, namun hati nuraninya masih berada bersamaku.
''Assalamualaikum..'' sapa seseorang, aku menoleh ke sumber suara. Kak Denis berdiri disana, lengkap memakai pakaian muslim dengan peci putih yang bertengger di kepalanya.
''Waalaikumsalam..'' jawabku sembari berdiri.
''Kakak turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, Nur. Semoga amal ibadahnya diterima dan ditempatkan di tempat yang paling mulia.'' ucapnya tulus.
''Aamiin. Makasih Kak.'' ucapku.
''Kamu yang sabar ya Nur. Masih banyak orang di dunia ini yang menyayangi kamu karena kamu seorang muslimah shalihah, kamu ga sendiri disini. Ada kakak, kakak siap menemani kamu dalam suka maupun duka.''
Aku mematung mendengar ucapan dari Kak Denis. Ucapan itu seperti menyimpan makna yang berarti terlebih di akhir ucapannya. Raut wajahnya seperti menunggu harapan indah. Apa mungkin, Allah menghadirkan cinta kepada hati kami berdua ? Namun segera aku menepisnya, mungkin ini hanya harapanku yang terlalu jauh.
Untuk beberapa saat kami saling diam dalam hening. Angin sejuk membuat jilbabku menari-nari.
''Kakak antarkan pulang ya. Sudah 2 jam lebih kamu berada disini, kamu harus istirahat.'' ucap Kak Denis penuh perhatian. Lagi-lagi aku merasa sifat Kak Denis yang berubah, berubah menjadi lebih perhatian padaku. Aku mengangguk, namun sebelum pergi aku mengusap nisan ibu dan mengecupnya.
''Ibu, Nur pulang dulu. Ibu tenang disana ya, sampaikan pada Allah agar Allah memberi Nur ketegaran dan ketabahan hati. Nur sayang ibu.'' lirihku.
Tak lupa juga aku mengusap dan mengecup nisan ayah.
''Ayah, ayah pasti udah tenang dari dulu. Nur titip ibu ya. Do'ain Nur juga ya, biar Nur jadi muslimah kuat. Nur sayang ayah.''
Kemudian kami beranjak pergi dari sana, tempat sunyi dan tenang, tempat manusia mendapatkan balasan sekaligus menunggu hari kiamat tiba.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan sampai seterusnya. Waktu terus berjalan tanpa pernah mengenal lelah, mengalir seperti air, berputar seperti roda.
Satu bulan sudah ibu pergi, semenjak itupula aku merasa rumah ini sangat sepi lebih sunyi, tak ada lagi suara lembut ibu, tak ada lagi suara batuk ibu. Sebuah kenangan indah berputar layaknya film.
Saat aku berusia 7 tahun, ibu dan ayah memberikanku kejutan di hari ulangtahunku.
''Nur selamat ulangtahun ya sayang. Semoga Allah memberikanmu umur yang panjang, kesehatan, kecerdasan dan hati yang dipenuhi kebaikan. Ibu sayang banget sama kamu.'' ucap ibu tulus kemudian mengecup keningku. Saat itu ibu sangat sehat dan terlihat sangat cantik dengan balutan jilbab ungunya.
''Aamiin. Ayah pun mendo'akanmu sama seperti ibu dan ayah do'akan kamu supaya kamu bisa menjadi seorang muslimah yang shalehah. Shalehah lahir dan batin. Dan kelak menjadi orang yang sukses dunia akhirat. Dan ini kado untukmu Nur, semoga kamu suka.''
Aku langsung membukanya, betapa bahagianya hatiku saat itu sebuah baju muslimah berwarna biru lengkap dengan jilbabnya ada didalam kotak itu, aku tersenyum.
''Alhamdullilah. Makasih ya bu, yah, Nur seneng banget dapet kejutan dari kalian berdua. Semoga pakaian ini berkah buat Nur. Nur seneng banget akhirnya Nur dapet baju muslimah lagi. Makasih ya bu, yah.''
''Iya sama-sama sayang. Sekarang usia kamu udah menginjak 7 tahun, itu artinya kamu sebentar lagi baligh, ayah dan ibu sangat berharap agar kamu lebih mengutamakan kepentingan agama. Pakailah pakaian yang sopan, tutupi rambutmu dengan jilbab, laksanakan shalat dan puasa dengan rajin, berlakulah santun pada setiap orang. Insya Allah, kamu akan menjadi muslimah yang shalihah. Kamu mau kan disayang sama Allah ?'' ucap ayah bijaksana.
''Iya ayah, Nur mau banget disayang Allah. Nur janji sama ayah dan ibu, Nur pasti jadi muslimah shalihah, insya Allah.'' ucapku bahagia.
Aku memeluk ayah dan ibu, sebuah senyuman indah terukir disana. Kenangan itu menjadi kenangan terakhir bersama ayah, karena keesokan harinya ayah mengalami kecelakaan hingga nyawanya tak dapat diselamatkan.
Tiba-tiba saja cairan hangat membasahi pipiku, aku sangat rindu pada mereka, ingin rasanya aku mengulangi masa-masa indah bersama mereka.
Sebuah mobil berhenti didepan rumahku, aku langsung teringat dengan Kak Denis bahwa aku ada janji dengannya.
Perpustakaan kota selalu sepi, hanya ada segelintir orang yang minat membaca buku. Aku duduk di bangku dekat jendela, sementara Kak Denis sibuk mencari buku di rak.
Sebuah buku berjudul ''Bidadari Surga'' karangan Asma Nadia terulur dari tangan Kak Denis. Aku menerimanya sembari bingung, sejujurnya aku sedang tak minat membaca karena kerinduanku pada kedua orangtuaku namun nampaknya Kak Denis sangat berharap agar aku membaca buku ini.
Lembaran demi lembaran telah kubaca dan saat membuka lembaran terakhir sebuah kertas berwarna hijau dengan motif bunga terselip disana. Aku mengerutkan keningku lalu menoleh pada Kak Denis, dia tampak asyik dengan bukunya. Perlahan aku membukanya, sebuah gambar muslimah mirip denganku terpampang disana dan dibawah gambarnya terdapat tulisan.
''Assalamualaikum. Kau adalah muslimah yang kucari, segalanya ada pada dirimu. Kau cantik, shalihah, rendah hati, ramah, dan memiliki hati yang suci serta ketegaran yang tiada surut. Selama ini aku selalu mendambakan muslimah seperti dirimu, kupikir di zaman ini seorang muslimah yang benar-benar shalihah sudah musnah namun ternyata ada, ada didekatku. Aku bersyukur bisa mengenalmu dan aku sangat berharap kau mau menerimaku menjadi imam untukmu, membimbingku menjadi pria shalih dan semoga Allah meridhoi kita. Aku ingin berjalan di jalan Allah, jalan menuju surga bersamamu. Nur, izinkan aku menjadi imammu dan kau menjadi bidadari surga bagiku. Maafkan kelancanganku. Wassalam. Denis.''
Hatiku berdebar-debar tak menentu setelah membaca surat itu. Aku tak sanggup berbicara melainkan menangis haru.
''Nur, maafkan kakak.'' lirih Kak Denis.
''Subhanallah.. Rupanya selama ini Allah telah menurunkan anugerah berupa cinta pada kita berdua. Selama ini aku pikir hanya aku yang mencintaimu, Kak, namun sekarang Allah memberitahu kita berdua bahwa kita saling mencintai.'' ucapku diiringi airmata bahagia.
Kak Denis tersenyum dan kulihat matanya mulai berkaca-kaca.
Cinta memang ajaib, awalnya aku hanya mengagumi dia, tanpa sadar kekagumanku menjadi sebuah rasa dan akhirnya menjadi anugerah diantara kita berdua. Allah Maha Besar.
Hari ini Kak Denis akan memperkenalkanku pada kedua orangtuanya yang kemarin pulang dari Arab. Setiba di rumah Kak Denis, aku langsung bersalaman dengan kedua orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatanganku.
''Ini Nur yang sering diceritain Denis ya?'' tanya ibunya.
Aku mengangguk seraya tersenyum. Ibu Kak Denis ternyata begitu cantik dengan balutan jilbab putihnya, mengingatkanku pada ibu saat ibu masih hidup. Dan kelihatannya ibu Kak Denis pun ramah.
''Denis emang bener-bener bisa ya kalo cari wanita. Cantik, solehah dan ramah pula. Ibu seneng banget karena pada akhirnya Denis bisa nemuin jodohnya sesuai dengan do'a ibu.'' tutur ibunya.
''Alhamdulillah bu, tapi ibu ga usah berlebihan bu, karena takutnya aku malah ngecewain ibu. Dan aku pun masih belajar jadi perempuan shalihah. Terlebih lagi ekonomi aku ga sebanding ekonomi keluarga ini.'' ucapku jujur.
''Sst, ga boleh bicara soal ekonomi Nur. Kita disini ga pernah ngebeda-bedain seseorang berdasarkan ekonominya, karena kita juga pada dasarnya sama, sama-sama diciptakan oleh Allah dan yang membedakan adalah ketaqwaan kita padanya. Kalo masalah harta adalah titipan Nur.'' ucap ibu Kak Denis.
''Denis sudah banyak menceritakan tentang kamu, Nur. Jadi kami sudah memaklumi kamu. Kamu ga boleh ngerendahin diri ataupun minder. Anggaplah kami sebagai orangtua kandung kamu. Kami malah bersyukur karena Denis bisa menemukan perempuan impian kami, semoga kamu bisa membantu Denis menjadi pria shalih.'' jelas ayah Kak Denis bijak.
''Jadi kalian berdua merestui hubungan kami ?'' tanya Kak Denis bahagia.
Mereka tersenyum lalu mengangguk. Aku sangat bersyukur Ya Allah, karena ternyata kedua orangtua Kak Denis merestui hubungan kami. Dan mereka bukanlah manusia sombong, meskipun harta mereka berlimpah tapi hati mereka tetap rendah. Mengasihi pada sesama.
''Ibu, ayah, kalian melihatnya bukan? Aku bahagia sekali. Sebentar lagi pernikahan akan segera terwujud.'' ucapku dalam hati.
*
Hari ini adalah hari bersejarah bagi aku dan Kak Denis. Mengucapkan ikatan suci didepan penghulu. Seorang pria yang hampir mirip dengan almarhum ayah tersenyum ke arahku. Dialah pamanku, hari ini dia menjadi saksi sekaligus wali untukku.
''Saya terima nikahnya Nur Syamsiah binti Razaq dengan seperangkat alat shalat dan emas sebesar 15 gram dibayar tunai.''
''Bagaimana saksi? Sah?''
''SAH.....''
Alhamdulillah pada akhirnya aku resmi menjadi istri Kak Denis. Aku menangis haru setelah Kak Denis memasangkan cincin pada jari manisku. Kak Denis menghapus airmataku dengan jarinya kemudian mencium keningku. Saat itu juga aku merasakan kehadiran ibu dan ayah, mereka pasti bahagia karena pada akhirnya aku tak sendiri dan mendapatkan imam yang baik untukku. Terimakasih Ya Allah. Terimakasih ibu, ayah. Terimakasih Kak Denis.

Tamat..

Sekian ceritanya 😄 gimana suka ? Cerpen beberapa tahun lalu nih jadi wajar kalo amburadul 😂

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qoutes Novel Serendipity by Erisca Febriani

Lirik Lagu Auditory Hallucination ost Kill me Heal me

Prolog Cerpen Tentang Kehilangan